PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan proses yang
berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk
aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan
kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan
tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992),
mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan
ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja
untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c)
untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam
pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil
kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan
paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan
kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki
pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di
Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama
mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap
modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti
menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan
partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan
bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih
tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional,
paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a)
mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan
kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki
kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas
secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma Fungsional dan paradigma
Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak
dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat
analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik.
Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan
dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan
atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian
menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah
direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan
yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS,
pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan.
Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan
serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai,
kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan
sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-inputdalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental
input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula
produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas,
yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang
perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah
barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem
dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru
cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di
atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan
bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara
totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah
menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan.
Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan
invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan
fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal
sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain,
khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu
perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan
ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal
inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji,
berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai
jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu
bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat
adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu
menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar
proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur
yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan
pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan,
pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak
dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan
pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan
munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan
vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul
tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem
persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya
lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan
menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran
pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan pendidikan
dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini
memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat
diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang
pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa
pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki
sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya,
kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi
yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih
sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan
sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan
ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem
persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi
realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu,
kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan
perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan
politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of
growth, melainkan gerbong dalam pembangunan.
Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti,
karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka
konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di
antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan
sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan
produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya
dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan
produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan
kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di
negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi
di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya
berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi
individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan
kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil
pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual
yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin
lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979)
menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan
pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan
pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki
produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki
pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat
banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan
kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih
canggih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar